Top 3: Penjual di TikTok Shop hingga Shopee Cs Bakal Dipungut Pajak, Ini Dampaknya untuk UMKM

Dalam beberapa tahun terakhir, platform e-commerce telah mengalami perkembangan pesat di Indonesia. Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet aktif, Indonesia menjadi salah satu pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara. Platform seperti Shopee, TikTok Shop, Tokopedia, dan Lazada menjadi pilihan utama masyarakat untuk membeli berbagai produk secara daring. Namun, pertumbuhan ini membawa tantangan baru dalam pengawasan fiskal dan perpajakan. Pemerintah pun mengambil langkah tegas dengan merancang regulasi pungutan pajak terhadap para pelaku usaha di marketplace.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya Kementerian Keuangan, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk memperluas basis pajak dan mengatur ekosistem ekonomi digital agar lebih adil. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran, terutama dari pelaku UMKM yang merasa terbebani.
Artikel ini akan membahas secara menyeluruh isu pungutan pajak terhadap penjual di platform e-commerce, dampaknya terhadap pelaku UMKM, serta respons masyarakat dan dunia usaha.

BAB II: Latar Belakang Kebijakan Pajak e-Commerce
2.1 Lonjakan Ekonomi Digital
Indonesia mengalami lonjakan transaksi e-commerce sejak pandemi COVID-19. Banyak pelaku usaha yang sebelumnya berjualan secara offline, mulai beralih ke platform digital. Kemudahan akses, jangkauan pasar yang luas, dan kemajuan teknologi menjadi pendorong utamanya.
Namun, pemerintah menyadari bahwa lonjakan ini tidak dibarengi dengan kontribusi fiskal yang seimbang. Banyak pelaku usaha yang beroperasi secara daring tidak tercatat secara resmi, sehingga potensi penerimaan negara dari sektor ini menjadi minim.
2.2 Pemerataan dan Level Playing Field
Salah satu alasan kuat diberlakukannya pungutan pajak ini adalah untuk menciptakan persaingan usaha yang adil. Pelaku usaha offline selama ini sudah dikenakan pajak, sementara sebagian besar pelaku usaha online belum terdaftar sebagai wajib pajak resmi.
Dengan adanya ketentuan baru ini, pemerintah berharap tercipta keadilan bagi semua pelaku usaha, baik yang berjualan di toko fisik maupun di dunia maya.
BAB III: Rincian Kebijakan Perpajakan
3.1 Siapa yang Wajib Bayar?
Berdasarkan kebijakan yang dirancang DJP, para penjual di marketplace yang memiliki omzet di atas Rp500 juta per tahun akan dikenakan PPh Final UMKM sebesar 0,5%. Namun, bagi yang belum mencapai ambang batas tersebut, tetap harus memiliki NPWP dan melakukan pelaporan pajak.
Pihak platform seperti TikTok Shop, Shopee, dan Tokopedia juga diwajibkan untuk memungut dan menyetorkan pajak dari transaksi yang terjadi di platform mereka. Ini termasuk PPN sebesar 11% yang berlaku pada jasa digital.
3.2 Mekanisme Pemungutan
Marketplace bertindak sebagai pemungut (withholding agent) yang memotong pajak dari setiap transaksi dan menyetorkannya ke kas negara. Hal ini mirip dengan skema yang berlaku untuk platform digital seperti Netflix, Spotify, dan Google sebelumnya.
Sistem ini akan memudahkan pengawasan karena data transaksi langsung dimiliki oleh platform dan dapat diakses oleh DJP.
BAB IV: Respons Marketplace dan Penjual
4.1 Sikap Marketplace
Beberapa platform besar seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menyatakan kesiapan untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam implementasi kebijakan ini. Mereka menyadari pentingnya kontribusi terhadap negara dan menjaga ekosistem digital tetap sehat.
Namun, mereka juga mengusulkan masa transisi dan edukasi kepada para penjual agar tidak terjadi kebingungan. TikTok Shop yang sempat dilarang, kini kembali dengan kerja sama bersama Tokopedia dan juga ikut dalam sistem perpajakan ini.
4.2 Reaksi Pelaku UMKM
Di sisi lain, pelaku usaha kecil dan mikro banyak yang mengeluhkan kebijakan ini. Mereka khawatir beban administrasi dan pemotongan pajak akan mengurangi pendapatan bersih mereka. Beberapa bahkan takut kehilangan pelanggan jika harga jual dinaikkan untuk mengompensasi pajak.
Namun, sebagian pelaku usaha menyambut positif karena merasa pajak yang dikenakan cukup ringan dan sistemnya bisa mendorong mereka untuk menjadi usaha yang lebih profesional.
BAB V: Dampak Jangka Pendek dan Panjang
5.1 Dampak terhadap Penjual Kecil
Dalam jangka pendek, diperkirakan akan ada resistensi dari penjual kecil yang belum memahami mekanisme pajak atau belum memiliki NPWP. Beban pelaporan dan ketidakpastian dalam pemotongan bisa membuat sebagian penjual kecil menghentikan operasinya.
Namun, bagi penjual yang sudah tertib, sistem ini akan membantu mereka lebih dipercaya oleh pembeli karena dianggap legal dan profesional.
5.2 Potensi Penerimaan Negara
Dari sisi fiskal, kebijakan ini berpotensi menambah penerimaan negara hingga triliunan rupiah per tahun. Dengan lebih dari 10 juta akun aktif penjual di berbagai platform, potensi pajaknya sangat besar jika dikumpulkan secara sistematis dan transparan.
5.3 Efek terhadap Harga Barang
Pemotongan pajak kemungkinan akan berdampak pada harga barang. Penjual bisa menaikkan harga untuk menutupi beban pajak, meskipun sebagian besar akan memilih menyesuaikan margin keuntungan agar tetap kompetitif.
BAB VI: Studi Kasus dan Testimoni
6.1 Studi Kasus Penjual Sukses
Rina, penjual pakaian di Shopee yang omzet bulanannya mencapai Rp60 juta, menyatakan bahwa ia tidak keberatan dengan pajak 0,5%. Ia mengatakan, “Selama ini saya sudah lapor pajak sendiri, jadi kalau sekarang Shopee yang memotong otomatis, saya justru lebih terbantu.”
6.2 Testimoni Penjual Mikro
Budi, penjual aksesoris handphone yang omzetnya belum sampai Rp50 juta per bulan, merasa bingung. “Saya belum punya NPWP. Kalau harus daftar, saya takut ribet dan malah bingung lapor pajaknya.”
Dari sinilah pentingnya peran edukasi dan pendampingan dari pemerintah dan platform untuk para pelaku usaha.
BAB VII: Upaya Pemerintah dan Edukasi
7.1 Sosialisasi dan Pendampingan
Pemerintah melalui DJP dan Kemenkop UKM tengah menyiapkan program edukasi bagi UMKM terkait kewajiban pajak digital. Workshop, webinar, dan pelatihan online diselenggarakan secara masif dengan menggandeng platform e-commerce.
7.2 Inklusivitas dan Perlindungan
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini tidak untuk mematikan UMKM, melainkan untuk membina dan mengangkat mereka menjadi lebih formal. “Justru dengan ini, UMKM akan lebih kuat karena terintegrasi dalam sistem yang rapi dan transparan,” ujarnya.
BAB VIII: Komparasi dengan Negara Lain
8.1 India
India mewajibkan platform digital memungut pajak sejak 2020. Penjual dengan omzet kecil dibebaskan dari PPN tetapi tetap dikenakan pajak penghasilan. Skema ini berhasil meningkatkan kepatuhan fiskal.
8.2 Singapura
Singapura memberlakukan Goods and Services Tax (GST) atas semua layanan dan produk digital. Penjual harus terdaftar secara resmi untuk dapat berjualan di marketplace.
8.3 Pelajaran untuk Indonesia
Dengan menyesuaikan praktik internasional, Indonesia bisa menyesuaikan skema perpajakan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan UMKM.
BAB IX: Kesimpulan dan Rekomendasi
Pungutan pajak terhadap penjual di TikTok Shop, Shopee, Tokopedia, dan e-commerce lain merupakan langkah penting dalam menata ulang ekonomi digital. Tujuan utamanya adalah menciptakan persaingan yang adil, memperluas basis pajak, dan meningkatkan pendapatan negara.
Namun, pelaksanaannya harus disertai dengan edukasi yang memadai, perlindungan terhadap UMKM, dan kemudahan administrasi. Jika dilaksanakan dengan bijak, kebijakan ini tidak hanya akan meningkatkan penerimaan negara tetapi juga memperkuat ekosistem ekonomi digital Indonesia.
Rekomendasi:
- Pemerintah perlu memberikan masa transisi 6-12 bulan dengan insentif dan pelatihan.
- Marketplace harus aktif menyosialisasikan kewajiban pajak kepada penjual.
- UMKM perlu diberikan akses mudah untuk membuat NPWP dan laporan pajak sederhana.
- Sistem pemungutan otomatis harus dibuat transparan dan bisa dilacak oleh penjual.
Baca Juga : Pengakuan MUA Terjebak Kekacauan Penerbangan Setelah Iran Menembakkan Rudal ke Pangkalan Militer AS di Qatar