News

Pengakuan MUA Terjebak Kekacauan Penerbangan Setelah Iran Menembakkan Rudal ke Pangkalan Militer AS di Qatar

admin3 minggu ago

1 5 minutes read

Krisis geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak ketika Iran secara mengejutkan meluncurkan rudal balistik ke pangkalan militer Amerika Serikat di Qatar pada awal Juni 2025. Serangan ini menandai eskalasi baru dalam ketegangan antara kedua negara dan berdampak luas, termasuk pada sektor penerbangan sipil. Salah satu kisah yang paling menyita perhatian publik berasal dari seorang Make-Up Artist (MUA) profesional asal Indonesia yang saat itu tengah transit di Bandara Internasional Hamad, Doha, Qatar.

Pengakuan sang MUA menjadi viral di media sosial karena menggambarkan kekacauan, kepanikan, dan ketidakpastian yang dialami para pelancong internasional yang tidak mengetahui apakah mereka akan bisa pulang dengan selamat.

Bagian I: Serangan yang Mengejutkan Dunia

1. Latar Belakang Serangan Iran ke Pangkalan AS di Qatar

Serangan ini merupakan respons atas peningkatan kehadiran militer AS di kawasan Teluk yang dianggap Iran sebagai provokasi. Pada tanggal 3 Juni 2025 dini hari waktu setempat, Iran menembakkan beberapa rudal balistik yang menghantam Pangkalan Al Udeid — salah satu pangkalan udara terbesar milik Amerika Serikat di luar negeri, yang terletak hanya beberapa kilometer dari Bandara Internasional Hamad di Doha.

Serangan tersebut menimbulkan kerusakan signifikan pada fasilitas logistik dan menyebabkan korban di kalangan militer AS, meskipun belum ada informasi yang sepenuhnya diverifikasi. Pemerintah Qatar pun langsung meningkatkan status siaga nasional.

2. Imbas Serangan pada Penerbangan Sipil

Akibat serangan tersebut, seluruh penerbangan yang melewati ruang udara Qatar langsung dibatalkan atau dialihkan. Sistem radar sipil sempat dimatikan, dan lalu lintas udara internasional lumpuh. Ratusan ribu penumpang terlantar, termasuk warga negara asing yang hanya sekadar transit.

Bandara Internasional Hamad, sebagai hub utama Qatar Airways, menjadi lokasi utama kepanikan. Tak ada penerbangan yang masuk maupun keluar selama lebih dari 18 jam setelah serangan terjadi.

Bagian II: Kisah Sang MUA di Tengah Kekacauan

1. Perjalanan Menuju Eropa

MUA berinisial RZ (30) asal Jakarta itu sedang dalam perjalanan menuju Milan, Italia, untuk memenuhi undangan kolaborasi eksklusif bersama brand kecantikan ternama Eropa. Ia terbang menggunakan Qatar Airways dengan rute Jakarta–Doha–Milan.

Setelah menempuh 9 jam penerbangan dari Jakarta, RZ tiba di Doha tepat beberapa jam sebelum rudal menghantam Pangkalan Al Udeid. Dalam pengakuannya, ia sempat menikmati suasana bandara dan bersantai di lounge sebelum semuanya berubah.

“Saya baru selesai makan dan sedang bersiap menuju gate untuk penerbangan lanjutan ke Milan. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras, dan lampu di area terminal sempat mati,” ujar RZ lewat unggahan video berdurasi 3 menit di Instagram.

2. Momen Mencekam: Saat Rudal Mengguncang

Beberapa menit setelah ledakan terdengar, pengumuman melalui pengeras suara menginstruksikan semua penumpang untuk tetap berada di tempat dan tidak melakukan pergerakan. Para staf bandara terlihat panik dan terburu-buru mengamankan area tertentu.

RZ menggambarkan suasana panik luar biasa. Tangisan anak-anak, teriakan penumpang yang tidak memahami bahasa Arab atau Inggris, serta kepanikan di antara turis yang hanya transit membuat situasi semakin tak terkendali.

“Semua jadi kacau. Kami tidak tahu rudal jatuh di mana. Kami pikir bandara yang kena. Internet sempat mati, saya tidak bisa menghubungi keluarga,” tambahnya.

Bagian III: Tertahan dan Terisolasi

1. Tidur di Lantai Bandara

Selama lebih dari 24 jam, RZ bersama ribuan penumpang lainnya terjebak di dalam terminal. Penerbangan dibatalkan satu demi satu. Air mineral dan makanan mulai terbatas. Banyak penumpang terpaksa tidur di lantai dengan menggunakan tas sebagai alas.

“Saya tidur di lorong gate bersama 20-an penumpang lain. Semua mencoba bertahan sambil terus memantau berita. Tapi TV bandara malah menyiarkan acara iklan, bukan berita langsung,” keluh RZ.

2. Krisis Informasi dan Ketidakpastian

Yang paling membuat stres bagi para penumpang adalah tidak adanya kejelasan informasi. Petugas hanya menyampaikan bahwa bandara ‘belum aman untuk operasional’ tanpa menjelaskan alasan teknis atau memberikan estimasi waktu.

Beberapa penumpang mencoba keluar bandara untuk mencari penginapan, namun dilarang keras oleh petugas karena status siaga militer Qatar sedang dalam level tertinggi. Bahkan, jalur darat ke kota Doha juga ditutup sementara.

Bagian IV: Dimensi Manusia dari Kekacauan

1. Solidaritas di Tengah Ketakutan

Di tengah semua kekacauan, RZ menyebut bahwa ada sisi kemanusiaan yang kuat terasa. Beberapa WNI yang tidak saling mengenal akhirnya saling membantu. Ada yang berbagi makanan, selimut, hingga membantu menerjemahkan informasi dari petugas bandara.

“Kami bikin grup WhatsApp WNI yang terjebak. Saya ingat betul satu bapak-bapak asal Surabaya yang bantu banyak orang karena dia bisa bahasa Arab. Dia seperti pahlawan saat itu,” kenang RZ.

2. Gangguan Kesehatan Mental dan Fisik

Setelah dua hari tertahan tanpa kejelasan, banyak penumpang yang mulai stres. Ada yang menangis histeris karena harus mengikuti pengobatan di negara tujuan, ada yang kehabisan obat, bahkan ada lansia yang jatuh sakit akibat kelelahan dan kurang asupan.

RZ sendiri mengalami serangan panik ringan dan sempat harus dibantu oleh tim medis bandara. Beruntung setelah mendapatkan oksigen dan obat penenang, kondisinya membaik.

Bagian V: Upaya Evakuasi dan Repatriasi

1. Konsulat Indonesia Turun Tangan

Setelah menerima laporan dari berbagai pihak, Konsulat Jenderal RI di Doha langsung mengirim perwakilan ke bandara. Mereka membantu mendata dan menenangkan WNI, serta memfasilitasi komunikasi dengan keluarga di Tanah Air.

“Saya sangat terharu ketika tahu pemerintah kita benar-benar turun tangan. Saya dibantu kirim kabar ke orang tua, dan akhirnya bisa tidur lebih nyenyak malam itu,” ungkap RZ.

2. Penerbangan Humanitarian Disiapkan

Tiga hari setelah insiden, pemerintah Qatar mengizinkan penerbangan terbatas untuk memulangkan penumpang yang paling rentan: lansia, anak-anak, ibu hamil, dan warga negara asing dengan kebutuhan medis.

RZ termasuk dalam gelombang kedua evakuasi setelah menunjukkan surat tugas profesional dan kondisi kesehatan yang sempat drop. Ia akhirnya diterbangkan ke Istanbul sebagai titik perantara sebelum melanjutkan ke Milan.

Bagian VI: Dampak Global dan Respons Dunia

1. Maskapai Merugi, Turisme Anjlok

Krisis ini menyebabkan kerugian besar bagi maskapai-maskapai dunia. Qatar Airways harus membatalkan lebih dari 1.200 penerbangan dalam 3 hari pertama. Negara-negara Eropa dan Asia mengeluarkan travel warning ke wilayah Teluk.

Bandara di Bahrain, Kuwait, hingga Uni Emirat Arab turut meningkatkan pengamanan.

2. Respons PBB dan Komunitas Internasional

Dewan Keamanan PBB menggelar sidang darurat dan mengutuk serangan rudal sebagai eskalasi berbahaya yang mengancam stabilitas global. Beberapa negara, termasuk Indonesia, menyerukan de-eskalasi dan perlindungan warga sipil.

Bagian VII: Refleksi dan Harapan Sang MUA

1. Trauma dan Syukur

Sekalipun bisa melanjutkan pekerjaannya di Milan, RZ mengaku mengalami trauma ringan setiap kali mendengar suara ledakan atau sirene bandara. Ia menyebut bahwa pengalaman itu memberinya pelajaran mendalam soal arti keamanan dan solidaritas.

“Saya jadi lebih menghargai ketenangan di Indonesia. Dan juga bersyukur bisa kembali pulang dengan selamat,” ujarnya.

2. Seruan untuk Dunia yang Damai

Melalui akun media sosialnya yang kini memiliki lebih dari 100 ribu pengikut, RZ kerap mengajak publik untuk menyuarakan perdamaian dan mendukung penyelesaian damai konflik antarnegara.

“Perang tidak hanya menyakiti tentara, tapi menghancurkan hidup orang biasa seperti saya,” tulisnya dalam sebuah unggahan.

Penutup: Kisah yang Mewakili Ribuan Suara

Pengakuan RZ, seorang MUA yang tidak pernah menyangka akan berada di jantung krisis Timur Tengah, menjadi representasi dari ribuan suara manusia yang terjebak di antara konflik global. Ia bukan diplomat, bukan pejabat, tapi kisahnya menjadi saksi nyata bahwa konflik bersenjata merampas lebih dari sekadar target militer—ia mengacak-acak hidup orang-orang biasa yang hanya ingin pulang, bekerja, atau sekadar bermimpi.

Semoga dunia mendengar kisah ini. Dan semoga upaya perdamaian selalu lebih lantang dari dentuman rudal.